News

Kemenperin dan ESDM berseteru soal DMO batubara, Airlangga minta DMO dicabut!

KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mengungkapkan usulan kontroversial soal pencabutan kebijakan wajib pasok batubara dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO).
Airlangga berkilah, penghapusan DMO bisa mengakselerasi hilirisasi batubara, khususnya untuk meningkatkan skala keekonomian dalam proyek gasifikasi batubara menjadi dimethyl ether (DME).


Pernyataan Airlangga itu pun memicu tanggapan sejumlah kalangan, khususnya stakeholders yang terkait dengan komoditas emas hitam ini. Tak terkecuali datang dari Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Ditjen Minerba) Kementerian ESDM yang menampik usulan Airlangga tersebut.
Direktur Bina Program Minerba Kementerian ESDM, Muhammad Wafid Agung mengungkapkan, pihaknya belum menerima usulan itu secara resmi. Sehingga, belum ada pembahasan terkait perubahan aturan DMO batubara.


Wafid pun menyebut, tidak ada keterkaitan langsung antara kebijakan DMO dengan pengembangan hilirisasi batubara. “Sepengetahuan saya tidak ada pembicaraan atau diskusi khusus terkait hal tersebut. DMO dan hilirisasi tidak nyambung,” kata Wafid kepada Kontan.co.id, Minggu (18/8).
Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Siandia menyatakan, pelaku usaha sejatinya tidak keberatan dengan kebijakan DMO batubara. Hanya saja, ia tak menampik bahwa pelaku usaha mengharapkan adanya sejumlah evaluasi dalam kebijakan tersebut.


Hal itu khususnya terkait dengan harga acuan DMO khusus untuk kelistrikan yang dipatok sebesar US$ 70 per ton, serta besaran persentase DMO yang saat ini dipatok sebesar 25% dari volume produksi.


“Tapi bukan berarti kita nggak mendukung, tidak bisa dibenturkan mendukung (pencabutan) atau tidak. Prinsipnya kita mendukung setiap upaya untuk memperbarui regulasi yang tidak efektif,” ungkapnya.


Menurut Hendra, implementasi kebijakan DMO selama ini terganjal sejumlah kendala. pertama, kata Hendra, konsumen dalam negeri bukan hanya PT PLN (Persero) atau hanya untuk kelistrikan. Terlebih, kualitas batubara yang diproduksi tidak sama dengan spesifikasi kalori batubara yang dikehendaki konsumen dalam negeri.


Kedua, sambung Hendra, setiap tahun persentase DMO tidak sesuai dengan kebutuhan aktual batubara dalam negeri. Dalam hal ini, Hendra menekankan pentingnya menyelaraskan antara persentase DMO, volume produksi nasional, serta kebutuhan batubara dalam negeri.


Hendra menilai, besaran DMO 25% bisa saja menjadi tidak relevan lagi jika volume produksi batubara nasional kembali meroket, namun di sisi lain volume kebutuhan batubara dalam negeri tidak meningkat signifikan. Kondisi ketidak seimbangan tersebut, imbuh Hendra, cukup mengkhawatirkn pelaku usaha.


“Persoalan kita selama ini bukanlah aturan yang kurang banyak. Aturan sudah terlampau banyak, yang perlu dicermati adalah implementasi dan enforcement dari aturan,” tuturnya.

Mengenai pasokan batubara untuk kelistrikan, Hendra mengatakan bahwa sebelum adanya aturan mengenai harga patokan batubara, pasokan batubara ke PLN tidak menjadi kendala ketika tidak ada disparitas harga PLN dengan pasar.

Kendati begitu, Hendra menilai mekanisme harga pasar menjadi pilihan terbaik untuk menjamin kelangsungan usaha industri batubara dan konsumen batubara dalam negeri.

Terkait dengan harga batubara itu, Hendra berpendapat bahwa PLN perlu memperbarui strategi pembelian batubara, yakni dengan mengikat kontrak dengan produsen batubara. Bukan dengan trading company yang tidak memiliki kompetesi dalam memasok batubara.

“Lalu PLN dapat mencairkan Performance Bond bagi produsen nakal yang tidak memenuhi kewajibannya, bahkan dapat men-blacklist pemasok nakal dan melaporkan ke pemerintah,” terangnya.

Sementara itu, Menurut Ketua Indonesia Mining and Energy Forum Singgih Widagdo, usulan pencabutan DMO untuk menggenjot hilirisasi sangat tidak relevan. Menurut Singgih, kebijakan DMO tidak harus dihapus, melainkan diperbaiki formulasi mekanismenya agar tidak merugikan industri pertambangan.


Ia mengusulkan, harga patokan khusus US$ 70 per ton yang hampir dua tahun ini diberlakukan sebaiknya diganti dengan formulasi discount pada besaran Harga Batubara Acuan tertentu.

Terlebih, sambung Singgih, dengan proyeksi pelemahan ekonomi global dan melemahnya harga komoditas pertambangan, maka langkah strategis yang harus dilakukan justru dengan memperbesar serapan batubara di pasar dalam negeri.

“Jadi DMO Batubara sebagai kebijakan untuk mengamankan coal security energy national dan consiatency quality tetap harus dijaga,” tegasnya.

Dengan persentase DMO yang meningkat, Singgih justru beranggapan kondisi itu menjadi tanda arah yang benar, bahwa batubara lebih diarahkan untuk kepentingan economic booster dengan multiple effect yang lebih besar. Adapun, untuk mengembangkan hilirisasi batubara, termasuk DME, lebih diperlukan insentif fiskal yang jelas, lantaran hilirisasi membutuhkan modal yang besar.

“Namun demikian tidak selalu DME menjadi cocok bagi seluruh perusahaan tambang. Dari sisi skala produksi tambang, lokasi, persediaan air, besarnya investasi, menjadi parameter pengembangam DME. Dan ini tidak terkait dengan DMO Batubara,” tandas Singgih.

Sumber : Kontan.co.id